Seni Ebeg Khas Cilacap

  1. SEJARAH EBEG/KUDA LUMPING

Ebeg merupakan salah satu kesenian yang berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya daerah sebelah selatan-barat. Di daerah tersebut diantaranya Banyumas, Purbalingga,Cilacap, dan Kebumen. Ebeg merupakan sejenis tari-tarian yang menceritakan latihan perang pada waktu itu. Biasanya pemain ebeg ada 5 – 8 orang yang diiringi dengan gamelan dan seperangkatnya. Menurut beberapa sumber, tarian ebeg ini sudah mulai berkembang sejak zaman Pangeran Diponegoro. Tarian ini berupa dukungan rakyat jelata terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Tarian ini biasanya terdiri dari empat fragmen, yaitu dua kali tarian buto lawas, tarian senterewe, dan tarian begon putri. Tarian ini tidak memerlukan koreografi khusus, tetapi penarinya harus bergerak kompak. Sang penari dapat bergerak bebas mengikuti alunan musik gamelan.Walaupun seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis dan ekstrem, namun pada intinya tarian ini memberi pesan yang sangat baik yaitu biasanya berisikan imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat dengan Sang Pencipta.

Kelincahan para penari merupakan simbol semangat dan kekuatan para nenek moyang kita dahulu. Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Atraksi tersebutsebagaimana di kenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah Mendhem (intrans). Pemain akan kesurupan seperti halnya makan beling atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak sepeti monyet, ular, dll.

Ebeg termasuk kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk kesenian ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.

 

 

  1. PROSESI KEGIATAN EBEG

Dalam kegiatan ebeg ini memerlukan banyak persiapan dalam hal perlengkapan maupun kesiapan fisik dan mental para pemain. Acara biasanya di mulai setelah waktu sholat duhur atau sekitar jam 1 siang sampai jam 5 sore. Peralatan yang perlu dipersiapkan seperti Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain gendhing dan tari, ada juga ubarampe yang harus disediakan seperti bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dll.

Jumlah penari biasanya 8 orang dua diantaranya penthul-tembem, satu rang sebagai pemimpin atau dalang dan 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian missal, jadi biasanya tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran rumah yang cukup luas.

Ketika para penari mulai kesurupan atau yang dikenal dengan intrans/mendhem, biasanya para pemain memakan pecahan kaca atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, dedhek (kathul), bara api, dll. Sehingga menunjukan kakuatannya Satria, demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Tidak jarang penonton ikut terbawa dengan atraksi tersebut. Secara tidak sadar, beberapa penonton akan mengikuti gerakan  dari si penari kuda lumping, ikut menari bersama penari kuda lumping lainnya. Hal tersebut karena mereka dari penonton telah terkena roh penari kuda lumping.

Setelah sekian lama para penari kesurupan, sekarang bagian Penimbun atau orang yang menyembuhkan sekaligus membuang roh ghaib dari tubuh para penari. Biasanya penimbun dibantu asistennya jika yang kemasukan roh lebih dari tiga.

 


  1. GRUP SENI EBEG/KUDA LUMPING DARI DESA BINANGUN

Berdasarkan wawancara yang telah saya lakukan kepada salah satu pemain ebeg di desa Binangun ‘Mbah Surip”, dia lahir di Cilacap, 11 Desember 1968. Mengatakan bahwa grup yang dia miliki telah berdiri sejak tahun 1998 yang diketuai oleh Bp. Mustarja dengan nama “Grup seni kuda lumping karya budaya Bendagede Binangun Kawunganten”. Grup ini berjalan sampai sekitar tahun 2000an, selebihnya grup ini mulai pudar karena tidak adanya penerus ahli waris. Namun, bagi Mbah Surip sendiri tidak patah semangat ikut berpatisipasi dalam acara tarian kuda lumping di beberapa daerah sampai sekarang. Biasanya dia di undang grup kuda lumping dari daerah lain untuk memperlancar acara. Karena menurut Mbah Surip, yang bisa dan biasa menabuh kendang pada awal tarian hanya dia.

Berikut susunan keanggotaan grup seni kuda lumping karya budaya Bendagede Binangun Kawunganten :

  1. Ketua              : Mustarja (sekaligus penimbun)
  2. Wakil Ketua    : Marto (assisten penimbun)
  3. Saron               : Parta dan Paimun
  4. Lompret          : Parta dan Paimun
  5. Campur           : Sakimin, Sudi, dan Sumadi
  6. Penari :

Comments

Popular posts from this blog

sejarah stone island